Oleh : Cornelis Wowor, MA
Hingga pada pertengahan tahun 1970an umat Buddha di Indonesia terdiri dari banyak organisasi. Pada masa itu ada beberapa organisasi umat Buddha yang aktif di bidang pembinaan keagamaan tidak dibina oleh Sangha (yang ada waktu itu). Organisasi umat Buddha itu antara lain. Tridharma, Buddhis Indonesia, Persaudaraan Buddhis Indonesia, Federasi Buddhis Indonesia; juga ada banyak umat Buddha yang tadinya bergabung dengan organisasi umat Buddha yang telah ada, namun mereka keluar karena berpendapat tidak sesuai dengan kebijakan organisasinya. Para pimpinan organisasi umat Buddha ini sangat mendambakan agar umat Buddha anggota mereka mendapat pembinaan dari sangha, namun karena perbedaan organisasi (bukan organisasi yang dibina langsung oleh sangha) maka keinginan tersebut tidak terpenuhi. Keinginan mereka di antaranya adalah adanya khotbah, ceramah, penahbisan pandita, upasaka, pemberkahan perkawinan, rumah, kantor, dlsb. oleh sangha atau anggota sangha.
Di samping itu ada beberapa anggota sangha (dari sangha yang ada pada waktu itu berpendapat dalam banyak hal tidak ada persesuaian pemikiran, utamanya dalam hal kebijakan dalam pembinaan umat Buddha di Indonesia dan cara kepemimpinan. Dalam hal organisasi sangha menurut mereka pimpinan tidak terbuka, karena sudah beberapa tahun tidak ada rapat umum (mahasamaya), padahal mahasamaya seharusnya dilaksanakan setiap tahun.
Sementara itu ada beberapa bhikkhu muda yang baru beberapa tahun di upasampada di luar negeri dan telah berada di tanah air, juga ada beberapa bhikkhu yang di upasampada di Indonesia, yang umumnya bukan anggota (organisasi) sangha yang telah ada di Indonesia. Dalam pembinaan mereka terhadap umat Buddha di Indonesia selama beberapa tahun, telah melihat, mendengar dan menemukan kondisi umat Buddha yang tidak mendapat pembinaan dari organisasi sangha yang telah ada, begitu pula dengan informasi-informasi dari anggota sangha yang tidak sejalan dengan kebijakan organisasi dan pimpinan sangha yang ada. Di samping itu para bhikkhu baru ini dituntut oleh umat agar mematuhi dan melaksanakan vinaya kebhikkhuan sesuai dengan patimokkha yang tercantum dalam Tipitaka.
Berdasarkan adanya situasi dan kondisi umat Buddha di Indonesia
seperti itulah, maka pada sore hari tanggal 23 Oktober 1976, bertempat di Vihara Maha Dhammaloka (sekarang Vihara Tanah Putih), Semarang, beberapa orang bhikkhu dan tokoh umat yaitu: Bhikkhu Aggabalo, Bhikkhu Khemasarano, Bhikkhu Sudhammo, Bhikkhu Khemiyo dan Bhikkhu Nanavutto; Bapak Suratin MS, Bapak Mochtar Rasyid, dan Ibu Supangat, ketika sedang membicarakan hal yang penting ini, muncul
pertanyaan apakah para bhikkhu tega membiarkan umat tak dibina? Pada hal sesuai dengan perintah Sang Buddha kepada para bhikkhu yang dikirim sebagai dhammaduta pertama (yaitu 60 bhikkhu arahat, lihat Vinaya Pitaka IV) ke berbagai penjuru adalah untuk membabarkan dhamma! Juga banyak pertanyaan tentang permasalahan kehidupan beragama Buddha di Indonesia yang harus diselesaikan berdasarkan
kerjasama sangha dan umat. Demi memenuhi kehendak umat dan panggilan kewajiban, maka diskusi tercetuslah ide untuk membentuk sangha baru.
Pembentukan sangha baru perlu pertimbangan yang banyak, antara lain bukan dibentuk untuk menyaingi sangha yang sudah ada, namun hanya untuk memfasilitasi kebutuhan umat dalam hal pembinaan. Juga para bhikkhu yang akan membentuk sangha baru bukan anggota sangha yang telah ada. Bhikkhu Khemasarano telah menjadi anggota sangha yang telah ada, tetapi dalam pembicaraan akan membentuk sangha yang baru beliau menyatakan akan keluar dari sangha itu dan bergabung dengan sangha yang akan dibentuk. Syarat jumlah bhikkhu yang disebutkan dalam Tipitaka minimal berjumlah empat orang bhikkhu. Dengan demikian kuorum membentuk sangha dapat dipenuhi oleh empat bhikkhu yang telah hadir dan bukan anggota sangha yang telah ada di Indonesia. Maka dalam pertemuan itu empat orang bhikkhu ini sependapat untuk membentuk sangha baru, dan Bhikkhu Khemasarano menyetujuinya dengan menyatakan sekaligus keluar dari sangha terdahulu. Dengan demikian terbentuklah sangha baru yang dinamakan Sangha Theravada Indonesia (STI) oleh lima orang bhikkhu tersebut. Pembentukan STI ini disambut baik oleh tokoh-tokoh umat yang hadir dan yang tidak hadir, sebab setelah: sangha dibentuk langsung diinformasikan ke berbagai organisasi dan tokoh-tokoh umat Buddha di seluruh Indonesia.
Setelah STI terbentuk langsung disambung dengan rapat sangha yang menggariskan bahwa STI akan dipimpin oleh seorang Sekretaris Sangha (Maha Lekkhanadikari) dan bukan oleh Ketua (nayaka), karena pertimbangannya adalah semua anggota STI merupakan para bhikkhu muda dan baru terdiri dari lima orang bhikkhu yang kepengurusannya masih mudah. Tugas adalah melaksanakan pembinaan umat Buddha di mana saja anggota berada dan atas permintaan umat (untuk mencegah friksi yang dapat muncul di antara sangha dan organisasi umat Buddha lain). Namun sebagai dharmaduta harus melayani siapa saja yang mengundang, demi pembabaran Buddha Dhamma.
Beberapa hari kemudian, Bhikkhu Aggabalo dan Samanera Tejavanto menemui Bhikkhu Girirakkhito Thera (di Jakarta) untuk menyampaikan telah berdirinya Sangha Theravada Indonesia. Setelah informasi ini disampaikan beliau berkata antara lain " ... baiklah karena teman-teman telah mendirikan STI, saya bergabung." Setelah pertemuan dengan Bhante Girl, bersama beliau (bertiga) langsung menghadap Dirjen Bimas Hindu dan Buddha, Dep. Agama RI, yang diterima oleh Dirjen, Bapak Puja, MA dan Sekditjen, Bpk drg. Willy Prajnasurya di kantor. Dalam pembicaraan dengan Bapak Dirjen, pembentukan STI dikritik, namun akhirnya beliau menerima apa adanya. Dengan demikian absahlah keberadaan STI di Indonesia karena telah diterima oleh umat dan
pemerintah.
Sumber :
30 tahun Pengabdian Sangha Theravada Indonesia, hal. 98-99
Diambil dari : http://samaggi-phala.or.id/berita/awal_sti.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar